“Model Pembangunan Desa Terpadu dalam Pengentasan
Kemiskinan”
Nikmatullah
A. Dg. Pabeta
Jurusan
Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
nikmatullahdgpabeta@rocketmail.com
Abstrak
Kawasan pedesaan merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat
ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan strategi dan model pembangunan
desa untuk meningkatkan kehidupan masyarakat desa dan menghapuskan kemiskinan
yang ada di desa. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penulisan kepustakaan dengan teknik analisa yang digunakan adalah
analisa deskriptif, untuk menghasilkan model pengembangan dan pengentasan
kemiskinan di pedesaan.
Kata kunci: masyarakat desa, kemiskinan,
pembangunan, strategi pembangunan desa
A.
PENDAHULUAN
Di
Reublik Indonesia, desa merupakan unsur pemerintah terdepan, struktur
pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan desa sebagai
pilar utama pembangunan bangsa, bila desa ini maju, mandiri, sejahtrera dan
demokratis, namun lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola
sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi
“pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan
cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada
Pemerintah diatasnya. desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya
yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Selama
ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan desa selalu bersifat
top down dan sektoral dalam
perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat
dari program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersipat sektoral.
Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah,
hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar
yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak
tepat.
Berkaitan
dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata
sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan
sudah sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi kemiskinan.
Pembangunan selama ini lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan
aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya
migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke
kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi
lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur
dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga
rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah
dasar saja. Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa
untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada
kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan
tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus
segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan
teritegrasi.
Fakta lain
memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan
tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat
setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan
kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi
rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat
masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam
mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam
kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi
masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
B. PERMASALAHAN
1) Sampai saat ini belum ada konsep/model
pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal dalam upaya
pengentasan kemiskinan di desa.
2) Pembangunan desa yang dilaksanakan
bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan
dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan
program tersebut.
3) Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari
desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain
yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain anggaran yang
disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kabupaten, Provinsi maupun dari Nasional,
cenderung bersifat project, bahkan charity,
bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
4) Perencanaan yang disusun, walaupun telah
melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten
dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak
menujukan keterpaduan program (commited
programme). Bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa
sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
5) Sudut pandang dari semua pihak terhadap
upaya pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu menempatkan desa sebagai suatu
objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan bersifat
seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat charity, dianggap telah memberikan
sesuatu manfaat yang sangat besar.
C.
PENGERTIAN DESA/PEDESAAN
Dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Yang dimaksud
dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: desa
adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan tersendiri.
Menurut
Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat
ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain.
Sedang menurut
Paul H. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai
berikut:
a)
Mempunyai
pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa;
b)
Ada
pertalian perasaan yang sama tentang
kesukaan terhadap kebiasaan;
c)
Cara
berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi
alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris
adalah bersifat sambilan.
Dari defenisi
tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa
Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang
menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah
menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian
penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari
pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Kalaupun derap
pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai ke
desa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep ”Membangun
desa, menumbuhkan kota”.
D. CIRI-CIRI
MASYARAKAT DESA (KARAKTERISTIK)
Dalam buku
Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons”
menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (gemeinschaft) yang mengenal
ciri-ciri sebagai berikut:
a) Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta,
kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, dan
sebagainya;
b) Orientasi Kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka
mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang
yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan;
c) Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada
hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu.
Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk
kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);
d) Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang
tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan
suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e) Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan
antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa
menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu.
E.
PEMBAHASAN
DAN ANALISIS
Terkait
dengan pembangunan desa (rural
development), secara tradisional pembangunan desa mempunyai tujuan untuk
pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh
penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta
menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan
kepada seluruh penduduk.[2]
Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan
sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi
barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam
tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.[3]
Dengan
demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan
dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai
hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin.[4]
Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial
dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat
kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.
Berdasarkan
uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai
faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau
pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan
bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna
mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu
rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi
lain, baik dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Musyawarah
Perenacanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda), dan Musyawarah Perencanaan
Pembanguan Kecamatan (Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang
perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya
bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara
elit di daerah, Dengan demikian, ajang Musrenbang/Musrenbangda/Musrenbangcam pun
tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena
masing masing level (elit birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan
keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan
daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan
dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Dalam
hierarki perundang-undangan, peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan
saran dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan
ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk dapat
mengimplementasikan program program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan
di desa.
Minimnya
peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut
kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam
pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu
memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan
Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga
keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain,
antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan
kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa
selam ini tidak akomodatif terhadap kekhasan daerah dan cenderung diseragamkan,
kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana
kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan).
Kebijakan
pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada
potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah
dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang
komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa
tidak optimal, peran stakeholders terutama
pemerintah desa tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa
hanya menggantungkan (depen on) pada
bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten dan kota. selain
itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai
tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa,
ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan,
kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih
lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau
pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program
pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut
telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara
umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat membangun
daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya
serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif desa, Di sisi lain,
sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang
undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dari
penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan
mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa
seharusnya bersifat bottom up. Akan
tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu
bersifat top down, dimana desa hanya
menerima program program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan
mekanisme perundang-undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri
(inisiatif desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya,
maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, Provinsi,
Kabupaten atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan
pembangunan (program-program) datang dari inisiatif desa sendiri.
Lebih
lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah,
terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan
infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk mengajukan
pembiayaan ke Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, misalnya untuk membangun
sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa
dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama
dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang
tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan
desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata
ruang desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun
sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah
(top down) dan desa hanya
melaksanakannya saja, maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah
perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang tidak pernah mengerti
akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnya sendiri.
Dengan
demikian, pemerintah (baik pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) seharusnya hanya
mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu
merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan
pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan oleh desa, Selama ini
permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep
dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi
pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan
berbagai programnya.
Secara
umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan. Untuk
mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata
mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan
kebijakan mikro berupa terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada
peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan
pembangunan desa yang terintegrasi.[5]
Dengan
melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan
merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi
melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian,
serta mengarahkannya secara lebih terpadu, Sudah saatnya desa tidak dapat lagi
dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun
seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
F.
STRATEGI
PEMBANGUNAN DESA TERPADU DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINAN
Mencermati
uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya
berbekal pengalaman (experient base)
dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan desa
dalam rangka pengentasan kemiskinan, sebagai berikut:
A. PENYUSUNAN TATA RUANG DESA
Menjadi
prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan desa. Dalam proses
penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada,
keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai,
sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa
kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa industri, desa
tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun
rencana infrastruktur, site plan
untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya
berbasis sentra (satu hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan
estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan
kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun, taman) dan sebagainya
sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
B. PENETAPAN AKTIVITAS DAN KOMODITI YANG AKAN
DIJADIKAN BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI DESA
Didasarkan
analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi
pasar, minat dan kultur masyarakat.
C. PEMBENTUKAN LEMBAGA LEMBAGA MASYARAKAT YANG
AKAN BERPERAN SEBAGAI STAKEHOLDERS
Dalam hal ini, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) berperan lebih dan masyarakat umumnya harus terlibat dalam pembangunan
desa.
D. PERUMUSAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DENGAN MELIBATKAN SELURUH KOMPONEN DI DESA
Kegiatan
Musrembangdes merupakan salah satu kegiatan perumusan perencanaan desa dengan
pelibatan masyarakat dalam pembangunan desa.
E. DUKUNGAN
PEMERINTAH
Pemerintah
dapat memberikan asistensi, masukan, serta memberikan dukungan berupa
pengalokasian dana dalam bentuk tugas pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand), Dengan demikian tidak
ada lagi program charity, baik dari Kabupaten/Kota,
Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah
terintegrasi programnya (commited program)
dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited budget).
F. PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN DESA
Dilakukan
penetapan kegiatan dan komoditas terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota, penguatan Badan Usaha Milik desa (BUMdes),
penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai
kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal,
pasar, koperasi, atau sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta
pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat desa itu sendiri atau
dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
G. KESIMPULAN
Pembangunan
desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak
terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan
dengan potensi, dan kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi
prioritas utama pembangunan dari semua level pemerintahan.
Keberhasilan
pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
keberhasilan pembangunan secara Nasional, Provinsional dan Kabupaten/kota.
Persoalan
kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara
signifikan, apabila tercapai pembangunan di desa desa.
Konsep
desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan dan
implementasi, dikenal dengan commited
programme dan commited budget,
merupakan konsep yang dilakukan secara gradual,
terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang akan
beraktivitas di desa.
DAFTAR PUSTAKA
Mawardie.
“Model Pembangunan desa Terpadu” dalam KIM
Gatra Wahana. On-line (http://tegallinggah.wordpress.com/desa/ModelPembangunandesaTerpadu)
diakses pada 26 Desember 2011
Nurlinda.
“Pemberdayaan Masyarakat Untuk Penanggulangan Kemiskinan” dalam Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat Kabupaten
Takalar. On-line (http://fkpsm.org/berita_detail.php?recordID=36)
diakses pada 26 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar