URBAN AND REGIONAL PLANNING
Rabu, 13 Juli 2011
KONSEP KAWASAN PEDESTRIAN WAYS
KONSEP PENCITRAAN KAWASAN PEDESTRIAN WAYS
Nikmatullah A. Dg. Pabeta
NIM : 60800109029
Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2011
Abstrak
Kawasan perkotaan merupakan pusat kegiatan masyarakat kota, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota tidak memperhitungkan penyediaan pedestrian ways di kawasan perkotaan dan tidak lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas estetika, sosial, buday kota. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan distribusi konsep ruang pejalan kaki terutama pada kawasan pusat perkotaan yang sesuai sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan pedestrian ways yang sesuai dengan fungsinya sebagai penunjang kualitas estetika kota yang juga sesuai dengan tipologi perkotaan dan menjadi pencitraan suatu kota yang manusiawi. Metode penuilsan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan tinjauan teoritis dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan suatu konsep pedestrian ways kawasan pusat perkotaan yang mampu menunjang kualitas estetika serta keberlangsungan kota.
A. LATAR BELAKANG
Pusat kota yang dirancang sebagai kota yang baik adalah kota yang harus memberikan kemudahan terhadap kemudahan pergerakan bagi lalu lintas, baik itu lalu lintas pejalan kaki maupun kendaraan. Kenyataan bertolak dari pengalaman empiris, alokasi ruang bagi lalu lintas kendaraan lebih besar dari pada ruang pejalan kaki dan hal ini sangatlah tidak adil.
Pusat kota sebagai kawasan yang akrab dengan pejalan kaki, secara perlahan akan mengalami penurunan kualitas dan ditinggalkan oleh pejalan kaki yang beralih kepada masyarakat yang bergantung pada kendaraan karena fungsinya sebagai kota yang akrab dengan pejalan kaki telah terganggu.
Di Makassar, masih minim kawasan yang betul-betul dirancang dengan penyediaan pedestrian ways. Walaupun telah muncul berbagai rancangan real estate yang telah mengaplikasikan kawasan perumahan yang menyediakan pedestrian ways namun lokasinya yang terletak di kawasan pinggiran kota.
Jalur pejalan kaki atau pedestrian ways adalah suatu sub-sub-system perencanaan kota yang sangatlah vital bagi pencintraan suatu kota dan menjadi suatu energy kota untuk hidup. Gambaran kota yang hidup dapat dilihat dari banyaknya lalu lalang pejalan kaki di kota tersebut. Arus lalu lintas yang padat bukanlah satu-satunya dinamika eksistensi kehidupan suatu kota.
Kota Makassar hanya memiliki sedikit kawasan pejalan kaki seperti di Somba Opu dan Pantai Losari, namun keberadaan pedestrian ways tersebut seingkali terabaikan sehingga penggunaannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pencitraan pedestrian ways di kawasan tersebut sangatlah minim oleh karenanya itu perlu adanya pencitraaan tersebut agar masyarakat tertarik untuk memanfaatkan pedestrian ways tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam permasalahan pedestrian ways yang perlu disimpulkan adalah bagaimana cara menimbulkan pencitraan terhadap pedestrian ways untuk memunculkan kembali fungsi pedestrian ways di kawasan tersebut?
C. KAJIAN TEORITIS
a. Ruang Publik
Ruang publik adalah tahap drama kehidupan sosial masyarakat. Jalanan, halaman dan taman kota memberikan bentuk peningkatan dan penurunan perubahan manusia. Ruang yang dinamis ini merupakan sesuatu yang penting untuk tempat bermukim yang lebih baik, kehidupan rutin rumah dan kerja, menyediakan jaringan pergerakan, simpul komunikasi dan kawasan umum untuk bermain dan bersantai (Environtmental & Behaviour Series, 1992 : 3).
Menurut Trancik (1986), ada lima faktor yang telah memberikan atau membuat hilangnya ruang kota masa kini, yaitu :
· Adanya peningkatan ketergantungan pada kendaraan,
· Sikap dari para perencana dalam pergerakan moderen terhadap ruang publik,
· Kebijaksanaan zoning atau land use dalam membagi kota,
· Adanya ketidaksadaran sementara pada bagian institusi publik dan privat untuk memperoleh tanggung jawab bagi lingkungan umum kota,
· Adanya kebebasan industri, militer atau transportasi fisik dan psikologi, fungsi, bentuk dan karakteristik ruang-ruang terbuka kota.
b. Pengertian Pedestian Ways
Pedestrian ways adalah ruang yang disediakan untuk jalur pejalan kaki yang membentuk suatu jaringan dengan fasilitas pendukung jalur pejalan kaki yang dapat berupa bangunan pelengkap petunjuk informasi maupun alat penunjang lainnya yang disediakan untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
c. Kedudukan Penyediaan Sarana dan Prasarana Pejalan Kaki
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan social ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang pejalan kaki selain dimuat dalam RTRW Kota, RDTR Kota, atau RTR Kawasan Strategis Kota, juga dimuat dalam RTR Kawasan Perkotaan yang merupakan rencana rinci tata ruang.wilayah Kabupaten.
Tipologi kota yang sesuai untuk diterapkan ruang pejalan kaki, mulai dari kota sedang, besar dan metropolitan dengan pertimbangan mengantisipasi pertumbuhan kota dan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi strategis sebagai pendorong pertumbuhan kota. Besaran pedestrian harus disesuaikan dengan fungsi dan kelas jalan, tetapi ketersediaan lahan akan menjadi faktor kendala terbesar dalam penyiapan ruang untuk pejalan kaki.
D. KEBUTUHAN PENYEDIAAN PEDESTRIAN WAYS
Kebutuhan akan pedestrian ways dalam suatu pusat kota adalah hal mutlak yang diharapkan sebagai suatu ruang public yang dapat digunakan untuk pencitraan suatu kota, sebagai sarana sirkulasi perkotaan.
Ada beberapa criteria kebutuhan ruang pejalan kaki, yaitu:
a. Kebutuhan ruang yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik,
b. Lebar jalur pejalan kaki harus sesuai dengan standar prasarana.
c. Harus memberikan kondisi aman, nyaman, ramah lingkungan dan mudah untuk, digunakan, sehingga pejalan kaki tidak harus merasa terancam dengan lalu lintas atau ganggungan dari lingkungan sekitarnya,
d. Jalur yang direncanakan mempunyai daya tarik atau nilai tambah lain diluar fungsi utama selain fungsi pedestrian ways.
e. Terciptanya ruang sosial sehingga pejalan kaki dapat beraktivitas secara aman di ruang public,
f. Terwujudnya keterpaduan sistem, baik dari aspek penataan lingkungan atau dengan sistem transportasi atau aksesilibitas antar kawasan,
g. Terwujud perencanaan yang efektif dan efisien sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan kawasan.
Tipologi pedestrian ways:
a. Ruang Pejalan Kaki di Sisi Jalan (Sidewalk)
Ruang pejalan kaki di sisi jalan (sidewalk) merupakan bagian dari sistem jalur pejalan kaki dari tepi jalan raya hingga tepi terluar lahan milik bangunan. Kedua lokasi studi kasus memiliki kebutuhan konsep ruang pejalan kaki di sisi jalan.
b. Ruang Pejalan Kaki di Sisi Air (Promenade)
Ruang pejalan kaki yang pada salah satu sisinya berbatasan dengan badan air.
c. Ruang Pejalan Kaki di Kawasan Komersial/Perkantoran (Arcade)
Ruang pejalan kaki yang berdampingan dengan bangunan pada salah satu atau kedua sisinya.
Ruang pejalan kaki di pusat kawasan bisnis dan pusat kota ini adalah area yang harus dirancang untuk mengakomodir volume yang lebih besar dari para pejalan kaki dibanding di area-area di kawasan permukiman. Batas jalanan (jalur transportasi) pada area ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang beragam dan secara umum terdiri dari berbagai zona, antara lain: zona bagian depan gedung, zona bagi pejalan kaki, zona bagi tanaman /perabot dan zona untuk pinggiran jalan. Pembagian zona ini dimaksudkan agar ruang pejalan kaki yang ada dapat tetap melayani para pejalan kaki yang melintasi area ini dengan nyaman. Pembagian zona akan lebih rinci dibahas pada system zona prasarana dan sarana ruang pejalan kaki di pusat kota.
E. KESIMPULAN
Dalam pencitraan pedestrian ways di Kawasan Pantai Losari dapat dilakukan dengan penetapan konsep promenade, dan side walk dengan pencitraan ruang public yang hijau. Sedangkan untuk Kawasan Somba Opu dapat menerapkan konsep ruang pajalan kaki kawasan komersial dan ruang pajalan kaki sisi jalan dengan segala pelengkapnya yang dapat melindungi pejalan kaki dan memberikan kenyamanan.
Konsep RTH Kota
Tinjauan Teoritis Terhadap Konsep Pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaaan
Nikmatullah A. Dg. Pabeta
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Abstrak
Kawasan perkotaan merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat kota, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota penambahan jumlah penduduk ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan semakin berkurang dan tidak lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, sosial, budaya dan ekonomi kota. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau terutama pada kawasan perkotaan yang sesuai sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan ruang terbuka hijau kota yang sesuai dengan fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis kota yang juga sesuai dengan tipologi perkotaan. Metode penulsan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan kepustakaan dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan suatu konsep ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang mampu menunjang kualitas ekologi, penunjang estetika serta keberlangsungan kota.
Kata kunci: Ruang terbuka hijau, proporsi dan distribusi, ekologis, sosial, issue rth, action plan
A. PENDAHULUAN
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, dimana ruang terbuka hijau kota memiliki fungsi utama sebagai penunjang ekologis kota yang juga diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan budaya suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau kota sangatlah diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana ruang terbuka hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu wilayah kota. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Dirjen PU, 2005). Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).
Kawasan perkotaan merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat akan tetapi fungsi kawasan tersebut pada kenyataannya seringkali tidak didukung oleh adanya ruang terbuka hijau kota yang mampu berfungsi secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau yang mampu memenuhi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari kawasan perkotaan.
B. PENGERTIAN RUANG TERBUKA HIJAU
Lawson (2001) mengungkapkan bahwa sebuah ruang memiliki dua fungsi yang signifikan, ruang dapat menyatukan sekelompok orang dan juga secara simultan ruang juga dapat memisahkan sekelompok orang satu sama lainnya. Ruang merupakan hal yang sangat esensial juga fundamental dan universal dari bentuk komunikasi. Ruang yang mengelilingi kita dan objek-objek yang berada di dalamnya dapat menentukan seberapa jauh kita dapat bergerak, seberapa hangat atau dingin kita merasa, seberapa banyak yang dapat kita lihat dan dengar, dan dengan siapa kita dapat berinteraksi. Dimana ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan bentuk-bentuk lainnya.
De Chiara (1982) membagi ruang kota dalam beberapa klasifikasi yaitu ruang terbuka utilitas yang didasarkan pada fungsi ruang terbuka sebagai lahan yang memiliki kapasitas produksi dan berproduksi serta sebagai lahan cadangan, ruang terbuka hijau yang didasarkan pada ruang terbuka yang bersifat alamiah/natural yang dapat digunakan untuk rekreasi publik serta sebagai penyeimbang bangunan yang bersifat tidak permanen, ruang terbuka koridor yang merupakan ruang untuk pergerakan yang membentuk suatu sistem sirkulasi, serta ruang dengan klasifikasi dengan penggunaan yang beragam dimana dalam kategori ini ruang terbuka yang ada memiliki fungsi ganda, sebagai contoh hutan tadah hujan yang juga berfungsi sebagai ruang rekreasi.
Secara definitif, ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota (Hakim, 2004). Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Penyediaan ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan menurut Pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan terbagi menjadi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah sebesar 30% dari keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan memberikan manfaatnya dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota menurut Purnomohadi (2006) bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan dengan adanya Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan dapat berfungsi untuk mencapai identitas kota, upaya pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, mengatasi genangan air, ameliorasi iklim, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung serta mengurangi masalah stress (tekanan mental) pada masyarakat kawasan perkotaan. Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau kota merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap kota, dimana ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penunjang kualitas ekologis lansekap kota. Jika dalam suatu wilayah perkotaan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan kota terutama kebutuhan masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenuhi dan kualitas hidup masyarakat kota akan semakin meningkat.
Molnar (1986) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek utama yang harus dipertimbangkan yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar, ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman substansial dari ruang terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur dan warna), disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan yang mudah. Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka hijau tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau didalam suatu wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal terhadap suatu wilayah perkotaan, akan tetapi tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.
C. FUNGSI DAN MANFAAT
RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
D. POLA DAN STRUKTUR FUNGSIONAL
Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya. Pola RTH terdiri dari:
a. RTH Struktural
RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non-ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan, taman kota, taman regional, dst).
b. RTH Non-Struktural
RTH non-struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.
Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.
E. KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :
a) Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki fungsi relaksasi.
b) Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
c) Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
d) Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
e) Kawasan Hijau Pemakaman.
f) Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan buah-buahan.
g) Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya.
h) Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.
Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan olahraga, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH lainnya.
F. ELEMEN PENGISI RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang akan ditanam.
Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota
b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i) Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
G. ISSUE RTH DAN SARAN ACTION PLAN
Empat issue utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH adalah:
a) Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan).
Action plan yang disarankan:
· - Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota
· - Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota
· Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk me-ningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional
b) Lemahnya lembaga pengelola RTH
· Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
· Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH
· Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
· Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
Action plan yang disarankan:
· Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll)
· Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll
· Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH
· Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif
· Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat
c) Lemahnya peran stake holders
· Lemahnya persepsi masyarakat
· Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
Action plan yang disarankan:
· Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll)
· Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media
· Penegasan model kerjasama antar stake holders
· perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk mening-katkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah
d) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH
· Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional
Action plan yang disarankan:
· Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH
· Peningkatan luas RTH privat
· Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan
DAFTAR PUSTAKA
De Chiara, Joseph and Koppelman, Lee E. 1978. Site Planning Standards. New York: McGraw Hill Book Company.
Hakim, Rustam. 2004. Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: FALTL Universitas Trisakti.
Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian-IPB. Makalah Lokakarya “Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan” dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. On-line (http://penataanruang.net/taru/Makalah/051130-rth.pdf), diakses 31 Mei 2011.
Putri, Dirthasia Gemilang, dkk., Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pusat Kota Ponorogo. On-line (http://www.digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-14013-ITS-Master-14013-Paper-1474438.pdf), diakses 31 Mei 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)