Tinjauan Teoritis Terhadap Konsep Pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaaan
Nikmatullah A. Dg. Pabeta
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Abstrak
Kawasan perkotaan merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat kota, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota penambahan jumlah penduduk ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan semakin berkurang dan tidak lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, sosial, budaya dan ekonomi kota. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau terutama pada kawasan perkotaan yang sesuai sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan ruang terbuka hijau kota yang sesuai dengan fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis kota yang juga sesuai dengan tipologi perkotaan. Metode penulsan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan kepustakaan dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan suatu konsep ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang mampu menunjang kualitas ekologi, penunjang estetika serta keberlangsungan kota.
Kata kunci: Ruang terbuka hijau, proporsi dan distribusi, ekologis, sosial, issue rth, action plan
A. PENDAHULUAN
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, dimana ruang terbuka hijau kota memiliki fungsi utama sebagai penunjang ekologis kota yang juga diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan budaya suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau kota sangatlah diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana ruang terbuka hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu wilayah kota. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Dirjen PU, 2005). Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).
Kawasan perkotaan merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat akan tetapi fungsi kawasan tersebut pada kenyataannya seringkali tidak didukung oleh adanya ruang terbuka hijau kota yang mampu berfungsi secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau yang mampu memenuhi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari kawasan perkotaan.
B. PENGERTIAN RUANG TERBUKA HIJAU
Lawson (2001) mengungkapkan bahwa sebuah ruang memiliki dua fungsi yang signifikan, ruang dapat menyatukan sekelompok orang dan juga secara simultan ruang juga dapat memisahkan sekelompok orang satu sama lainnya. Ruang merupakan hal yang sangat esensial juga fundamental dan universal dari bentuk komunikasi. Ruang yang mengelilingi kita dan objek-objek yang berada di dalamnya dapat menentukan seberapa jauh kita dapat bergerak, seberapa hangat atau dingin kita merasa, seberapa banyak yang dapat kita lihat dan dengar, dan dengan siapa kita dapat berinteraksi. Dimana ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan bentuk-bentuk lainnya.
De Chiara (1982) membagi ruang kota dalam beberapa klasifikasi yaitu ruang terbuka utilitas yang didasarkan pada fungsi ruang terbuka sebagai lahan yang memiliki kapasitas produksi dan berproduksi serta sebagai lahan cadangan, ruang terbuka hijau yang didasarkan pada ruang terbuka yang bersifat alamiah/natural yang dapat digunakan untuk rekreasi publik serta sebagai penyeimbang bangunan yang bersifat tidak permanen, ruang terbuka koridor yang merupakan ruang untuk pergerakan yang membentuk suatu sistem sirkulasi, serta ruang dengan klasifikasi dengan penggunaan yang beragam dimana dalam kategori ini ruang terbuka yang ada memiliki fungsi ganda, sebagai contoh hutan tadah hujan yang juga berfungsi sebagai ruang rekreasi.
Secara definitif, ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota (Hakim, 2004). Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Penyediaan ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan menurut Pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan terbagi menjadi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah sebesar 30% dari keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan memberikan manfaatnya dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota menurut Purnomohadi (2006) bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan dengan adanya Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan dapat berfungsi untuk mencapai identitas kota, upaya pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, mengatasi genangan air, ameliorasi iklim, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung serta mengurangi masalah stress (tekanan mental) pada masyarakat kawasan perkotaan. Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau kota merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap kota, dimana ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penunjang kualitas ekologis lansekap kota. Jika dalam suatu wilayah perkotaan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan kota terutama kebutuhan masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenuhi dan kualitas hidup masyarakat kota akan semakin meningkat.
Molnar (1986) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek utama yang harus dipertimbangkan yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar, ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman substansial dari ruang terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur dan warna), disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan yang mudah. Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka hijau tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau didalam suatu wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal terhadap suatu wilayah perkotaan, akan tetapi tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.
C. FUNGSI DAN MANFAAT
RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
D. POLA DAN STRUKTUR FUNGSIONAL
Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya. Pola RTH terdiri dari:
a. RTH Struktural
RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non-ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan, taman kota, taman regional, dst).
b. RTH Non-Struktural
RTH non-struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.
Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.
E. KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :
a) Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki fungsi relaksasi.
b) Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
c) Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
d) Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
e) Kawasan Hijau Pemakaman.
f) Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan buah-buahan.
g) Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya.
h) Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.
Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan olahraga, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH lainnya.
F. ELEMEN PENGISI RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang akan ditanam.
Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota
b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i) Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
G. ISSUE RTH DAN SARAN ACTION PLAN
Empat issue utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH adalah:
a) Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan).
Action plan yang disarankan:
· - Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota
· - Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota
· Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk me-ningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional
b) Lemahnya lembaga pengelola RTH
· Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
· Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH
· Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
· Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
Action plan yang disarankan:
· Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll)
· Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll
· Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH
· Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif
· Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat
c) Lemahnya peran stake holders
· Lemahnya persepsi masyarakat
· Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
Action plan yang disarankan:
· Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll)
· Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media
· Penegasan model kerjasama antar stake holders
· perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk mening-katkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah
d) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH
· Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional
Action plan yang disarankan:
· Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH
· Peningkatan luas RTH privat
· Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan
DAFTAR PUSTAKA
De Chiara, Joseph and Koppelman, Lee E. 1978. Site Planning Standards. New York: McGraw Hill Book Company.
Hakim, Rustam. 2004. Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: FALTL Universitas Trisakti.
Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian-IPB. Makalah Lokakarya “Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan” dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. On-line (http://penataanruang.net/taru/Makalah/051130-rth.pdf), diakses 31 Mei 2011.
Putri, Dirthasia Gemilang, dkk., Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pusat Kota Ponorogo. On-line (http://www.digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-14013-ITS-Master-14013-Paper-1474438.pdf), diakses 31 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar