URBAN AND REGIONAL PLANNING

Sabtu, 04 Februari 2012

Model Pembangunan Desa Terpadu dalam Pengentasan Kemiskinan


“Model Pembangunan Desa Terpadu dalam Pengentasan Kemiskinan”


Nikmatullah A. Dg. Pabeta
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
nikmatullahdgpabeta@rocketmail.com


Abstrak
Kawasan pedesaan merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan strategi dan model pembangunan desa untuk meningkatkan kehidupan masyarakat desa dan menghapuskan kemiskinan yang ada di desa. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan kepustakaan dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan model pengembangan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Kata kunci: masyarakat desa, kemiskinan, pembangunan, strategi pembangunan desa
  

A.    PENDAHULUAN
Di Reublik Indonesia, desa merupakan unsur pemerintah terdepan, struktur pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, bila desa ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis, namun lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi kemiskinan. Pembangunan selama ini lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja. Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

B.     PERMASALAHAN
1)    Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2)   Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program tersebut.
3)    Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain anggaran yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kabupaten, Provinsi maupun dari Nasional, cenderung bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
4) Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program (commited programme). Bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
5)    Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu menempatkan desa sebagai suatu objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan bersifat seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat charity, dianggap telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat besar.

C.    PENGERTIAN DESA/PEDESAAN
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.
Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Sedang menurut Paul H. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:
a)      Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa;
b)      Ada pertalian perasaan yang sama  tentang kesukaan terhadap kebiasaan;
c)      Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai ke desa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep ”Membangun desa, menumbuhkan kota”.

D.    CIRI-CIRI MASYARAKAT DESA (KARAKTERISTIK)
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan  tolong menolong, dan sebagainya;
b)  Orientasi Kolektif  sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan;
c)    Partikularisme  pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);
d)    Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e)      Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu.
E.     PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk.[2] Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.[3]
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin.[4] Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.
Berdasarkan uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Musyawarah Perenacanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda), dan Musyawarah Perencanaan Pembanguan Kecamatan (Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elit di daerah, Dengan demikian, ajang Musrenbang/Musrenbangda/Musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elit birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Dalam hierarki perundang-undangan, peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk dapat mengimplementasikan program program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap kekhasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan).
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya menggantungkan (depen on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten dan kota. selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif desa, Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima program program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang-undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (program-program) datang dari inisiatif desa sendiri.
Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, misalnya untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata ruang desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja, maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnya sendiri.
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) seharusnya hanya mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan oleh desa, Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya.
Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan. Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi.[5]
Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu, Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.

F.     STRATEGI PEMBANGUNAN DESA TERPADU DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINAN
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya berbekal pengalaman (experient base) dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, sebagai berikut:
A.     PENYUSUNAN TATA RUANG DESA
Menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra (satu hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun, taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
B. PENETAPAN AKTIVITAS DAN KOMODITI YANG AKAN DIJADIKAN BASIS PENGEMBANGAN EKONOMI DESA
Didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi pasar, minat dan kultur masyarakat.
C.  PEMBENTUKAN LEMBAGA LEMBAGA MASYARAKAT YANG AKAN BERPERAN SEBAGAI STAKEHOLDERS
Dalam hal ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan lebih dan masyarakat umumnya harus terlibat dalam pembangunan desa.
D. PERUMUSAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DENGAN MELIBATKAN SELURUH KOMPONEN DI DESA
Kegiatan Musrembangdes merupakan salah satu kegiatan perumusan perencanaan desa dengan pelibatan masyarakat dalam pembangunan desa.
E.    DUKUNGAN PEMERINTAH
Pemerintah dapat memberikan asistensi, masukan, serta memberikan dukungan berupa pengalokasian dana dalam bentuk tugas pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand), Dengan demikian tidak ada lagi program charity, baik dari Kabupaten/Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah terintegrasi programnya (commited program) dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited budget).
F.    PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DESA
Dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota, penguatan Badan Usaha Milik desa (BUMdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat desa itu sendiri atau dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).

G.    KESIMPULAN
Pembangunan desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan dengan potensi, dan kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama pembangunan dari semua level pemerintahan.
Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan secara Nasional, Provinsional dan Kabupaten/kota.
Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara signifikan, apabila tercapai pembangunan di desa desa.
Konsep desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan dan implementasi, dikenal dengan commited programme dan commited budget, merupakan konsep yang dilakukan secara gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang akan beraktivitas di desa.

DAFTAR PUSTAKA

Mawardie. “Model Pembangunan desa Terpadu” dalam KIM Gatra Wahana. On-line (http://tegallinggah.wordpress.com/desa/ModelPembangunandesaTerpadu) diakses pada 26 Desember 2011
Nurlinda. “Pemberdayaan Masyarakat Untuk Penanggulangan Kemiskinan” dalam Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat Kabupaten Takalar. On-line (http://fkpsm.org/berita_detail.php?recordID=36) diakses pada 26 Desember 2011

Riska dkk. “Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan” Makalah Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar Jurusan Pend. Matematika Fakultas MIPA Universitas Indraprasta  PGRI Jakarta 2007.



[1] Undang-Undang No 32 Tahun 2004
[2] Mosher (1969:91)
[3] Fellman & Getis (2003:357)
[4] Jayadinata & Pramandika (2006: 1)
[5] Tjiptoherijanto (1997: 57)

PWK kosong sembilan


Rabu, 13 Juli 2011

Mereka PeWeKa



KONSEP KAWASAN PEDESTRIAN WAYS

KONSEP PENCITRAAN KAWASAN PEDESTRIAN WAYS

Nikmatullah A. Dg. Pabeta
NIM : 60800109029
Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2011

Abstrak
Kawasan perkotaan merupakan pusat kegiatan masyarakat kota, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota tidak memperhitungkan penyediaan pedestrian ways di kawasan perkotaan dan tidak lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas estetika, sosial, buday kota. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan distribusi konsep ruang pejalan kaki terutama pada kawasan pusat perkotaan yang sesuai sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan pedestrian ways  yang sesuai dengan fungsinya sebagai penunjang kualitas estetika kota yang juga sesuai dengan tipologi perkotaan dan menjadi pencitraan suatu kota yang manusiawi. Metode penuilsan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan tinjauan teoritis dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan suatu konsep pedestrian ways kawasan pusat perkotaan yang mampu menunjang kualitas estetika serta keberlangsungan kota.


A.   LATAR BELAKANG
Pusat kota yang dirancang sebagai kota yang baik adalah kota yang harus memberikan kemudahan terhadap kemudahan pergerakan bagi lalu lintas, baik itu lalu lintas pejalan kaki maupun kendaraan. Kenyataan bertolak dari pengalaman empiris, alokasi ruang bagi lalu lintas kendaraan lebih besar dari pada ruang pejalan kaki dan hal ini sangatlah tidak adil.
Pusat kota sebagai kawasan yang akrab dengan pejalan kaki, secara perlahan akan mengalami penurunan kualitas dan ditinggalkan oleh pejalan kaki yang beralih kepada masyarakat yang bergantung pada kendaraan karena fungsinya sebagai kota yang akrab dengan pejalan kaki telah terganggu.
Di Makassar, masih minim kawasan yang betul-betul dirancang dengan penyediaan pedestrian ways. Walaupun telah muncul berbagai rancangan real estate yang telah mengaplikasikan kawasan perumahan yang menyediakan pedestrian ways namun lokasinya yang terletak di kawasan pinggiran kota.
Jalur pejalan kaki atau pedestrian ways adalah suatu sub-sub-system perencanaan kota yang sangatlah vital bagi pencintraan suatu kota dan menjadi suatu energy kota untuk hidup. Gambaran kota yang hidup dapat dilihat dari banyaknya lalu lalang pejalan kaki di kota tersebut. Arus lalu lintas yang padat bukanlah satu-satunya dinamika eksistensi kehidupan suatu kota.
Kota Makassar hanya memiliki sedikit kawasan pejalan kaki seperti di Somba Opu dan Pantai Losari, namun keberadaan pedestrian ways tersebut seingkali terabaikan sehingga penggunaannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pencitraan pedestrian ways di kawasan tersebut sangatlah minim oleh karenanya itu perlu adanya pencitraaan tersebut agar masyarakat tertarik untuk memanfaatkan pedestrian ways tersebut.


B.  RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam permasalahan pedestrian ways yang perlu disimpulkan adalah bagaimana cara menimbulkan pencitraan terhadap pedestrian ways untuk memunculkan kembali fungsi pedestrian ways di kawasan tersebut?

C.  KAJIAN TEORITIS
a.   Ruang Publik
Ruang publik adalah tahap drama kehidupan sosial masyarakat. Jalanan, halaman dan taman kota memberikan bentuk peningkatan dan penurunan perubahan manusia. Ruang yang dinamis ini merupakan sesuatu yang penting untuk tempat bermukim yang lebih baik, kehidupan rutin rumah dan kerja, menyediakan jaringan pergerakan, simpul komunikasi dan kawasan umum untuk bermain dan bersantai (Environtmental & Behaviour Series, 1992 : 3).
Menurut Trancik (1986), ada lima faktor yang telah memberikan atau membuat hilangnya ruang kota masa kini, yaitu :
·    Adanya peningkatan ketergantungan pada kendaraan,
·    Sikap dari para perencana dalam pergerakan moderen terhadap ruang publik,
·    Kebijaksanaan zoning atau land use dalam membagi kota,
·    Adanya ketidaksadaran sementara pada bagian institusi publik dan privat untuk memperoleh tanggung jawab bagi lingkungan umum kota,
·   Adanya kebebasan industri, militer atau transportasi fisik dan psikologi, fungsi, bentuk dan karakteristik ruang-ruang terbuka kota.
b.   Pengertian Pedestian Ways
Pedestrian ways adalah ruang yang disediakan untuk jalur pejalan kaki yang membentuk suatu jaringan dengan fasilitas pendukung jalur pejalan kaki yang dapat berupa bangunan pelengkap petunjuk informasi maupun alat penunjang lainnya yang disediakan untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
c.   Kedudukan Penyediaan Sarana dan Prasarana Pejalan Kaki
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan social ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana ruang pejalan kaki selain dimuat dalam RTRW Kota, RDTR Kota, atau RTR Kawasan Strategis Kota, juga dimuat dalam RTR Kawasan Perkotaan yang merupakan rencana rinci tata ruang.wilayah Kabupaten.
Tipologi kota yang sesuai untuk diterapkan ruang pejalan kaki, mulai dari kota sedang, besar dan metropolitan dengan pertimbangan mengantisipasi pertumbuhan kota dan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi strategis sebagai pendorong pertumbuhan kota. Besaran pedestrian harus disesuaikan dengan fungsi dan kelas jalan, tetapi ketersediaan lahan akan menjadi faktor kendala terbesar dalam penyiapan ruang untuk pejalan kaki.

D.  KEBUTUHAN PENYEDIAAN PEDESTRIAN WAYS
Kebutuhan akan pedestrian ways dalam suatu pusat kota adalah hal mutlak yang diharapkan sebagai suatu ruang public yang dapat digunakan untuk pencitraan suatu kota, sebagai sarana sirkulasi perkotaan.
Ada beberapa criteria kebutuhan ruang pejalan kaki, yaitu:
a.  Kebutuhan ruang yang direncanakan harus dapat diakses oleh seluruh pengguna, termasuk oleh pengguna dengan berbagai keterbatasan fisik,
b.   Lebar jalur pejalan kaki harus sesuai dengan standar prasarana.
c.  Harus memberikan kondisi aman, nyaman, ramah lingkungan dan mudah untuk, digunakan, sehingga pejalan kaki tidak harus merasa terancam dengan lalu lintas atau ganggungan dari lingkungan sekitarnya,
d.  Jalur yang direncanakan mempunyai daya tarik atau nilai tambah lain diluar fungsi utama selain fungsi pedestrian ways.
e.   Terciptanya ruang sosial sehingga pejalan kaki dapat beraktivitas secara aman di ruang public,
f.  Terwujudnya keterpaduan sistem, baik dari aspek penataan lingkungan atau dengan sistem transportasi atau aksesilibitas antar kawasan,
g. Terwujud perencanaan yang efektif dan efisien sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan kawasan.
Tipologi pedestrian ways:
a.  Ruang Pejalan Kaki di Sisi Jalan (Sidewalk)
Ruang pejalan kaki di sisi jalan (sidewalk) merupakan bagian dari sistem jalur pejalan kaki dari tepi jalan raya hingga tepi terluar lahan milik bangunan. Kedua lokasi studi kasus memiliki kebutuhan konsep ruang pejalan kaki di sisi jalan.
b.  Ruang Pejalan Kaki di Sisi Air (Promenade)
Ruang pejalan kaki yang pada salah satu sisinya berbatasan dengan badan air. 
c.  Ruang Pejalan Kaki di Kawasan Komersial/Perkantoran (Arcade)
Ruang pejalan kaki yang berdampingan dengan bangunan pada salah satu atau kedua sisinya. 
Ruang pejalan kaki di pusat kawasan bisnis dan pusat kota ini adalah area yang harus dirancang untuk mengakomodir volume yang lebih besar dari para pejalan kaki dibanding di area-area di kawasan permukiman. Batas jalanan (jalur transportasi) pada area ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang beragam dan secara umum terdiri dari berbagai zona, antara lain: zona bagian depan gedung, zona bagi pejalan kaki, zona bagi tanaman /perabot dan zona untuk pinggiran jalan. Pembagian zona ini dimaksudkan agar ruang pejalan kaki yang ada dapat tetap melayani para pejalan kaki yang melintasi area ini dengan nyaman. Pembagian zona akan lebih rinci dibahas pada system zona prasarana dan sarana ruang pejalan kaki di pusat kota.


E.       KESIMPULAN
Dalam pencitraan pedestrian ways di Kawasan Pantai Losari dapat dilakukan dengan penetapan konsep promenade, dan side walk dengan pencitraan ruang public yang hijau. Sedangkan untuk Kawasan Somba Opu dapat menerapkan konsep ruang pajalan kaki kawasan komersial dan ruang pajalan kaki sisi jalan dengan segala pelengkapnya yang dapat melindungi pejalan kaki dan memberikan kenyamanan.

Konsep RTH Kota

Tinjauan Teoritis Terhadap Konsep Pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaaan

Nikmatullah A. Dg. Pabeta
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Abstrak
Kawasan perkotaan merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat kota, akan teteapi seiring dengan perkembangan kota penambahan jumlah penduduk ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan semakin berkurang dan tidak lagi memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, sosial, budaya dan ekonomi kota. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan komposisi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau terutama pada kawasan perkotaan yang sesuai sehingga dihasilkan sebuah konsep penataan ruang terbuka hijau kota yang sesuai dengan fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis kota yang juga sesuai dengan tipologi perkotaan. Metode penulsan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan kepustakaan dengan teknik analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif, untuk menghasilkan suatu konsep ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang mampu menunjang kualitas ekologi, penunjang estetika serta keberlangsungan kota.

Kata kunci: Ruang terbuka hijau, proporsi dan distribusi, ekologis, sosial, issue rth, action plan

A.    PENDAHULUAN
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, dimana ruang terbuka hijau kota memiliki fungsi utama sebagai penunjang ekologis kota yang juga diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan budaya suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau kota sangatlah diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana ruang terbuka hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu wilayah kota. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Dirjen PU, 2005). Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim,2004).
Kawasan perkotaan  merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat akan tetapi fungsi kawasan tersebut pada kenyataannya seringkali tidak didukung oleh adanya ruang terbuka hijau kota yang mampu berfungsi  secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau yang mampu memenuhi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari kawasan perkotaan.

B.     PENGERTIAN RUANG TERBUKA HIJAU
Lawson (2001) mengungkapkan bahwa sebuah ruang memiliki dua fungsi yang signifikan, ruang dapat menyatukan sekelompok orang dan juga secara simultan ruang juga dapat memisahkan sekelompok orang satu sama lainnya. Ruang merupakan hal yang sangat esensial juga fundamental dan universal dari bentuk komunikasi. Ruang yang mengelilingi kita dan objek-objek yang berada di dalamnya dapat menentukan seberapa jauh kita dapat bergerak, seberapa hangat atau dingin kita merasa, seberapa banyak yang dapat kita lihat dan dengar, dan dengan siapa kita dapat berinteraksi. Dimana ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan bentuk-bentuk lainnya.
De Chiara (1982) membagi ruang kota dalam beberapa klasifikasi yaitu ruang terbuka utilitas yang didasarkan pada fungsi ruang terbuka sebagai lahan yang memiliki kapasitas produksi dan berproduksi serta sebagai lahan cadangan, ruang terbuka hijau yang didasarkan pada ruang terbuka yang bersifat alamiah/natural yang dapat digunakan untuk rekreasi publik serta sebagai penyeimbang bangunan yang bersifat tidak permanen, ruang terbuka koridor yang merupakan ruang untuk pergerakan yang membentuk suatu sistem sirkulasi, serta ruang dengan klasifikasi dengan penggunaan yang beragam dimana dalam kategori ini ruang terbuka yang ada memiliki fungsi ganda, sebagai contoh hutan tadah hujan yang juga berfungsi sebagai ruang rekreasi.
Secara definitif, ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota (Hakim, 2004). Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Penyediaan ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan menurut Pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan terbagi menjadi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau  privat dimana proporsi ruang terbuka hijau yang sesuai adalah sebesar 30% dari keseluruhan luas lahan yang komposisinya terbagi atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi luasan minimal ruang terbuka hijau sehingga dapat memenuhi fungsi dan memberikan manfaatnya dalam suatu kawasan kota dimana penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota menurut Purnomohadi (2006) bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan dengan adanya Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan dapat berfungsi untuk mencapai identitas kota, upaya pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, mengatasi genangan air, ameliorasi iklim, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung serta mengurangi masalah stress (tekanan mental) pada masyarakat kawasan perkotaan. Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau kota merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap kota, dimana ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penunjang kualitas ekologis lansekap kota. Jika dalam suatu wilayah perkotaan proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan kota terutama kebutuhan masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenuhi dan kualitas hidup masyarakat kota akan semakin meningkat.
Molnar (1986) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek utama yang harus dipertimbangkan yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan sekitar, ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tetap memperhatikan aspek estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman substansial dari ruang terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur dan warna), disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan yang mudah. Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka hijau tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau didalam suatu wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal terhadap suatu wilayah perkotaan, akan tetapi tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.

C.    FUNGSI DAN MANFAAT
RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.

D.    POLA DAN STRUKTUR FUNGSIONAL
Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya. Pola RTH terdiri dari:
a.      RTH Struktural
RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non-ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan, taman kota, taman regional, dst).
b.      RTH Non-Struktural
RTH non-struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.
Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.

E.     KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :
a)   Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki fungsi relaksasi.
b)   Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
c)   Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
d)   Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
e)   Kawasan Hijau Pemakaman.
f)    Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan buah-buahan.
g)   Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya.
h)   Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.
Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan olahraga, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH lainnya.

F.     ELEMEN PENGISI RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang akan ditanam.
Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a)      Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota
b)      Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c)      Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d)      Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e)      Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f)       Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g)      Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h)      Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i)        Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.

G.    ISSUE RTH DAN SARAN ACTION PLAN
Empat issue utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH adalah:
a)      Dampak negatif dari suboptimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan).
Action plan yang disarankan:
·        -    Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota
·        -    Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota
·         Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk me-ningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional
b)      Lemahnya lembaga pengelola RTH
·         Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
·         Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH
·         Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
·         Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
Action plan yang disarankan:
·         Revisi dan penyusunan payung hukum dan perundangan (UU, PP, dll)
·         Revisi dan penyusunan RDTR, RTRTH, UDGL, dll
·         Penyusunan Pedoman Umum : Pembangunan RTH, Pengelolaan RTH
·         Penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif
·         Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat
c)      Lemahnya peran stake holders
·         Lemahnya persepsi masyarakat
·         Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
Action plan yang disarankan:
·   Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau   royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll)
·     Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media
·     Penegasan model kerjasama antar stake holders
·    perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk mening-katkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah
d)     Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH
·         Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional
Action plan yang disarankan:
·         Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH
·         Peningkatan luas RTH privat
·         Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan

DAFTAR PUSTAKA
De Chiara, Joseph and Koppelman, Lee E. 1978. Site Planning Standards. New York: McGraw Hill Book Company.

Hakim, Rustam. 2004. Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: FALTL Universitas Trisakti.

Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian-IPB. Makalah Lokakarya “Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan” dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. On-line (http://penataanruang.net/taru/Makalah/051130-rth.pdf), diakses 31 Mei 2011.

Putri, Dirthasia Gemilang, dkk., Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Pusat Kota Ponorogo. On-line (http://www.digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-14013-ITS-Master-14013-Paper-1474438.pdf), diakses 31 Mei 2011.